Kamis, 27 Agustus 2015

Potret Buram di Balik Sedekade Aceh Damai (1)



Rabu, 19 Agustus 2015 - 06:03 wib

Salman Mardira : Jurnalis

BANDA ACEH – Raut wajah Rumaini tampak lesu saat menjelaskan pekerjaannya sehari-hari. Maklum, sejak kampungnya direlokasi, pemuda Desa Teungoh, Kemukiman Buloh Seuma, Kecamatan Trumon, Aceh Selatan ini, praktis menganggur.

“Dulu waktu kami masih di Kampung Teungoh yang lama, kami masih bisa garap kebun. Sekarang kami sudah enggak punya apa-apa. Cuma rumah bantuan saja yang kami dapat setelah Aceh damai,” tutur Rumaini saat berbincang dengan Okezone beberapa waktu lalu.

Gampong Teungoh dulu terasing di pelosok hutan rawa gambut. Kisahnya bermula saat Aceh berstatus Darurat Militer tahun 2003. Aparat keamanan menyisir Gampong Tengoh kemudian meminta penduduk setempat mengungsi. Warga diminta merobohkan rumahnya sendiri, agar tak dijadikan sarang Gerakan Aceh Merdeka (GAM). “Beberapa rumah yang kami biarkan berdiri dibakar,” ujarnya.

Warga kemudian eksodus ke berbagai tempat sanak saudaranya, meninggalkan kebun, ternak, unggas dan desa yang sudah puluhan tahun mereka tempati. Penduduk Desa Teungoh saat itu sekira 200 jiwa. Sebelum konflik memanas, warga desa itu sudah hidup berkecukupan dengan hasil pertanian dan ternak. Meski belum ada jalan untuk menjangkau Teungoh, setidaknya tiap pekan mereka masih bisa memasarkan sayuran, buah-buahan, lele bahkan madu ke Singkil maupun Trumon, menggunakan perahu mesin (boat).

“Semua habis waktu kami disuruh meninggalkan kampung, kami tidak diperbolehkan bawa apa-apa. Hanya dikasih waktu seminggu untuk mengosongkan kampong,” cerita Rumaini.

Bukan hanya Gampong Teungoh, ratusan warga dua desa lainnya di Kemukiman Buloh Seuma yakni Kuta Padang dan Raket, juga eksodus demi keselamatan. Nyaris tak ada warga yang berani tinggal di pedalaman Buloh Seuma kala itu. Hampir tiga tahun di pengungsian.

Warga baru kembali ke desanya setelah GAM dan Pemerintah Indonesia meneken MoU damai di Helsinki, Finlandia, 15 Agustus 2005. Gencatan senjata kedua pihak menghentikan perang yang sudah berlangsung 30 tahun. Bagi warga Raket dan Kuta Padang, ketika kembali ke desa mereka hanya membersihkan saja rumahnya masing-masing dari semak-semak yang tumbuh setelah lama ditinggal.

Berbeda dengan warga Gampong Raket. Mereka tak ada apa-apa lagi di sana. “Kampung kami sudah kembali jadi hutan,” ujar Zainal, Sekretaris Desa Teungoh.

Perkampungan baru dibuka. Lokasinya bukan di tempat lama yang sulit dijangkau, tapi kini lebih dekat dengan Desa Raket. Seratusan warga Teungoh yang sudah kembali kemudian menempati rumah-rumah bantuan dari program reintegrasi Aceh tahun 2006 yang dibangun di atas lahan hibah milik Desa Raket.

Sejak ditempatkan di lokasi baru ini, banyak warga kehilangan mata pencaharian. Mereka mayoritas petani, tapi lahan-lahan mereka sudah jadi belantara di perkampungan lama. Untuk ke sana butuh waktu dua jam mengarungi sungai, tak ada jalan. Agar tak menganggur sebagian warga kini banting stir jadi pencari lele. Jika musim barat tiba mereka beralih jadi pencari madu. Pekerjaan tak tetap ini sama sekali tak menjanjikan bagi kehidupan mereka.

“Kami hanya baru merasakan damai dari segi keamanan, tapi belum merasakan sejahtera,” tukas Rumaini.

Satu dekade sudah Aceh damai, dan puluhan triliun dana otonomi khusus dikucur ke provinsi itu. Tapi warga Buloh Seuma masih terhimpit kemiskinan. Untuk tembus ke Buloh Seuma saja, harus melalui jalan berkubang yang membelah hutan rawa. Belum lagi soal layanan pendidikan dan kesehatan yang masih jauh dari harapan.

Hal yang sama dialami warga Cot Baroh, Kecamatan Glumpang Tiga, Kabupaten Pidie. Cot Baroh masuk dalam “zona merah”, istilah yang digunakan militer Indonesia untuk kawasan rawan atau sarang GAM semasa konflik itu. Warga di sana juga belum sepenuhnya menikmati berkah damai.

Potret kemiskinan masih terlihat. Secara keamanan memang tak lagi masalah, karena warga sudah bebas berkebun tanpa khawatir lagi ada kontak tembak atau penyisiran aparat keamanan seperti masa konflik dulu. Tapi hasil kebun belum menjanjikan, perekonomian warga masih terpuruk. “Dulu ada coklat (kakao), tapi harganya sekarang sudah jatuh. Tanamannya pun sudah berhama,” kata Helmi Hasan (45), seorang warga setempat.

Sementara persawahan juga tak bisa diandalkan. Sejak konflik berakhir, hutan mulai dirambah sehingga debit air berkurang. Sawah kerap mengalami kekeringan. Tahun lalu warga sempat menanam kacang di area sawahnya. Tapi belakangan mati kerontang, akibat kemarau.”Tidak rezeki,” ujarnya.

Helmi sempat menjadi buruh bangunan upahan untuk menambah pemasukan, tapi pekerjaan ini juga tergantung pesanan. Menurutnya bukan cuma dirinya yang sulit dapat pekerjaan menjanjikan. “Tapi hampir rata-rata, anak muda juga banyak yang gak jelas kerja,” ujarnya. [bersambung]...

(ris)

Potret Buram di Balik Sedekade Aceh Damai (2)



Rabu, 19 Agustus 2015 - 06:17 wib

Salman Mardira : Jurnalis



BANDA ACEH - Sudah 10 tahun konflik berakhir. Aceh dapat kewenangan mengatur pemerintahannya sendiri sebagai daerah otonomi khusus (Otsus). Tapi kenyataannya rakyat belum sepenuhnya menikmati kesejahteraan. Aceh hanya berhasil keluar dari belenggu perang, tapi belum mampu mewujudkan sebuah kemajuan dari sisi ekonomi.

Korupsi mulai menanjak seiring melimpahnya aliran dana ke Aceh pasca-konflik. LSM Fitra tahun lalu menempatkan Aceh sebagai provinsi kedua terkorup di Indonesia setelah Sumatera Utara. Selain didera korupsi, pertumbuhan ekonomi Aceh juga minim, mutu pendidikan masih jelek, angka gizi buruk masih tinggi, kesenjangan sosial makin menjadi-jadi, politik belum stabil, berikut kriminalitas bersenjata masih saja terjadi meski reintegrasi sudah pernah dijalankan.

“10 tahun sudah MoU Helsinki berjalan, malah melahirkan problem-problem baru di masyarakat. 10 tahun MoU belum memberikan sama sekali perubahan yang bersifat monumental dan jangka panjang bagi masyarakat,” kata Presiden Mahasiswa UIN Ar Raniry, Said Fuadi Fajar Ramadhan.

Menurutnya, banyaknya kasus korupsi terjadi selepas damai, kemudian kekerasan saat Pilkada, alokasi dana aspirasi wakil rakyat yang tak berdampak bagi kesejahteraan masyarakat, adalah sebuah penjajahan yang dilakukan “orang-orang yang memanfaatkan momentum perdamaian”.

Fasilitator perdamaian Aceh, Juha Christensen menyatakan, Aceh belum berhasil menjalankan proses reintegrasi dengan baik, sehingga memunculkan gejolak seperti kriminalitas bersenjata. Hal ini karena Aceh belum memiliki perencanaan yang jelas terkait reintegrasi.

Sementara mantan Ketua Aceh Monitoring Mission, Pieter Feith menilai, reintegrasi hanya bisa dilakukan dengan pembangunan ekonomi. “Ekonomi hanya bisa dibangun dengan investasi,” ujarnya.

Pemerintah Aceh dalam beberapa tahun terakhir memang gencar menggaet investor, menghabiskan uang begitu banyak untuk ke luar negeri, tapi hasilnya mengecewakan. Menurut Pieter, investor hanya akan masuk ke suatu daerah kalau pemerintahnya bersih dari korupsi, mampu menjaga stabilitas politik serta adanya jaminan keamanan.

Dua periode beruntun Pemerintah Aceh dipegang mantan GAM. Gubernur Aceh sekarang Zaini Abdullah, merupakan Mantan Menteri Luar Negeri GAM. Wakilnya Muzakir Manaf adalah bekas Panglima GAM. Parlemen Aceh juga dikuasai Partai Aceh, partai lokal yang digawangi eks kombatan GAM. Begitu juga kabupaten/kota, mayoritas juga ditangan mereka.

Tapi kenyataannya mereka yang dulu gencar melawan Jakarta karena dinilai tak adil terhadap Aceh, juga belum mampu mewujudkan keadilan secara ekonomi bagi seluruh rakyat Aceh. Padahal kekuasaan sudah ditangan.

Lihatlah catatan Badan Pusat Statistik (BPS). Selama semester I-2015, pertumbuhan ekonomi Aceh dengan migas tercatat turun 1,92 persen, angka paling rendah dibanding sembilan provinsi lain di Sumatera. Pertumbuhan ekonomi tanpa migas juga melambat yakni hanya 3,20 persen, atau jauh di bawah rata-rata nasional. Sementara masyarakat miskin di Aceh mencapai 881 ribu jiwa, dari lebih 4 juta populasi. Angka pengangguran juga masih cukup tinggi yakni mencapai 191 ribu orang.

Ini tentu ironi mengingat Aceh, sejak 2008 hingga sekarang sudah menikmati Rp42,2 triliun dana otonomi khusus dari pemerintah pusat. Kenapa uang begitu banyak tapi tak mampu membangkitkan perekonomian Aceh?

Menurut Rektor Universitas Syiah Kuala (Unsyiah) Banda Aceh, Prof. Samsul Rizal, Pemerintah Aceh belum memiliki blue print yang jelas dalam menggunakan dana sebanyak itu, sehingga uang yang melimpah itu mengalir begitu saja dan dinikmati oleh kelompok-kelompok tertentu. “Uang begitu banyak tidak tahu dibawa kemana, akibat perencanaan yang tidak fokus,” ujarnya.

Menurutnya, Gubernur Aceh harus mengevaluasi para stafnya serta pejabat eselon di pemerintahannya, yang belum mampu mempresentasikan dengan baik rencana program kerjanya. “Gubernur harus cepat melakukan evaluasi secara professional,” sebutnya.

Samsul meminta pemerintah fokus membangun infrasruktur untuk meningkatkan ekonomi masyarakat. Tantangan ke depan dinilai semakin berat apalagi akan masuk era Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA). Mutu pendidikan Aceh yang berada diperingkat 25 nasional, kata dia, juga perlu diperhatikan serius. “Bukan hanya dengan memperbanyak ruang kelas, tapi mutu SDM harus dipersiapkan.”

Wakil Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) Sulaiman Abda menilai, 10 tahun damai pembangunan Aceh seperti jalan di tempat, karena pemerintah tak fokus arah. Menurutnya Aceh masih terjebak pada proyek-proyek kecil yang tak langsung tersentuh kesejahteraan masyarakat, sehingga pertumbuhan ekonomi lamban.

Sulaiman memandang, Aceh perlu sebuah perencanaan yang jelas dalam penggunaan dana begitu banyak, agar pembangunannya jelas. Seperti diketahui Aceh hanya akan mendaatkan kucuran dana otsus hingga 2028.

“Kalau kita gagal meletakkan fondasi pembangunan perekonomian, saat dana otsus itu berakhir maka akan terjadi persoalan social yang sangat parah,” tukas politikus Partai Golkar ini.

Gubernur Aceh, Zaini Abdullah mengakui masih banyak tantangan dihadapi Aceh sekarang. “Terutama sekali persoalan-persoalan menyangkut reintegrasi dan masalah-masalah untuk mengurangi kemiskinan,” ujarnya.

Pemerintahannya, kata Zaini, terus mengatasi berbagai persoalan itu. “Kita harus meningkatkan ekonomi masyarakat, pembangunan rumah-rumah tidak layak huni, perbaikan jalan dan irigasi. Ini semua potensi-potensi yang ada sehingga akan mempercepat pembangunan, sehingga pengurangan kemiskinan akan lebih cepat,” tukasnya. [Selesai]

(ris)

Cerita pilu nelayan Aceh menderita infeksi kronis sampai buta



Reporter : Afif | Selasa, 31 Maret 2015 19:16



Merdeka.com - Badannya kurus, lehernya membengkak, dia hanya terbaring lemas di Rumah Sakit Harapan Bunda, Banda Aceh. Dia adalah Muhammad Ali (45), seorang nelayan asal Sabang yang menderita pembengkakan di kepala hingga menutup kedua matanya.

Ali hanya bisa terbaring lemah tak bisa berjalan karena kedua matanya tertutup benjolan sebesar kepalan tangan orang dewasa. Saat hendak berjalan, ia harus dipapah oleh istri yang setia mendampingi.

Sudah 5 malam Ali menjalani perawatan medis. Istri Ali, Rosmaniar, tidak menyangka wajah suaminya mengalami pembengkakan seperti ini.

Rosmaniar bercerita awal mula pembengkakan di kepala suaminya dimulai sekitar 5 bulan lalu. Semula ada benjolan mirip bisul di kepala suaminya. Kemudian bisul itu pecah dengan sendirinya saat itu Ali tidak merasakan sakit sama sekali.

Setelah kejadian itu, mulai bermunculan benjolan-benjolan kecil di wajah Ali. Benjolan kecil tersebut bertambah besar hingga seperti sekarang. Tadinya Ali dan keluarga tidak menganggap serius benjolan-benjolan kecil itu.

Pihak keluarga baru membawa Ali ke rumah sakit ketika menyadari kepala Ali semakin membesar pembengkakan. Kendati demikian, Ali tidak merasa sakit sama sekali di kepalanya.

"Cuma gatal-gatal saja itu kepala suami saya," kata Rosmaniar di rumah sakit, Selasa (31/3).

Sementara itu anggota Komunitas Peduli Kanker Aceh, Ratna mengatakan, penyakit yang dialami Ali saat ini bukanlah tumor ataupun kanker. Namun karena infeksi yang terlampau kronis.

"Informasi ini saya peroleh tadi siang setelah menghubungi langsung dokter T. Farijal Fadhil," jelas Ratna

Sehari-hari, Ali bekerja sebagai nelayan. Ali dan Rosmaniar tinggal di Kampung Keunekai, Kecamatan Sukajaya, Sabang. Dengan pekerjaan seperti itu, penghasilan yang didapat pas-pasan, bahkan dirinya sudah tidak bisa bekerja karena sakit.

Oleh karena itu, saat ini ia membutuhkan uluran tangan para dermawan agar bisa mengobati penyakit suaminya. Dari pemerintah dan donatur lainnya, agar bisa membiayai pengobatannya suaminya yang tergolong membutuhkan banyak dana.

Kisah Naira Azura, anak warga miskin Aceh pengidap hydrocephalus



Reporter : Afif | Jumat, 10 April 2015 14:06


Naira Azura, bayi pengidap hydrochephalus. ©2015 merdeka.com/afifuddin acal

Merdeka.com - Badan kurus kering, hanya tinggal kulit berbalut tulang, kepalanya pun kian membesar. Namanya Naira Azura (3 tahun). Bocah itu hanya bisa terbaring di atas kasur tanpa bisa bergerak. Padahal sebelumnya Naira memiliki tubuh sehat nan lincah.

Naira Azura merupakan anak pasangan Zulkifli (30 tahun) dan Marhamah (23 tahun) dari Dusun Mbot-Mbot, Desa Alue Nibung, Kecamatan Peureulak Timur, Aceh Timur. Sakit diidap anak kedua pasangan suami istri itu dimulai pada 2012 lalu, saat mendadak mengalami kejang-kejang.

Keluarganya pun sudah bolak-balik mengantarkan anaknya untuk berobat. Berbagai macam cara ditempuh demi kesembuhan sang buah hati. Dana dan harta pun terus digelontorkan supaya keadaan Naira normal. Pengobatan dilakukan baik secara medis sampai alternatif atau biasa disebut dengan pengobatan kampung. Sebab mereka tidak punya banyak uang buat berobat ke rumah sakit.

Zulkifli mengaku sejak anaknya mengalami kejang-kejang tiga tahun silam, dia sudah pernah membawa Naira berobat ke Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Idie, Kabupaten Aceh Timur. Bahkan Naira sempat keluar masuk rumah sakit hingga dirujuk ke Rumah Sakit Umum Zainal Abidin (RSUZA) Banda Aceh.

"Di RSUZA itu sudah empat kali kami keluar masuk untuk pengobatannya. Anak saya dibilang mengidap penyakit hydrocephalus," kata Zulkifli, Jumat (10/4) via telepon genggamnya.

Terakhir kali mendapatkan perawatan dari RSUZA, Banda Aceh pada 23 Maret 2015 lalu. Saat itu Zulkifli mengaku tim dokter muda di RSUZA, Banda Aceh hendak mengoperasi Naira. Tetapi hal itu urung dilakukan setelah datang dokter senior lainnya menyebutkan Naira belum bisa dioperasi.

"Baru kemudian berselang beberapa hari anak saya dioperasi oleh dokter lain," ujar Zulkifli.

Kata Zulkifli, sebelum Naira dioperasi di RSUZA, Banda Aceh berat badannya 13,4 kilogram. Namun setelah operasi berat badan Naira justru melorot sampai tinggal berat badan 6,3 kilogram.

"Kondisi anak saya sekarang setelah dioperasi semakin memburuk," tandas Zulkifli.

Kendati demikian, Zulkifli bersyukur sekarang sudah ada kepastian untuk pengobatan anaknya. Pihak Dinas Kesehatan dan Dinas Sosial Kabupaten Aceh Timur sudah menjenguk anaknya di rumah. Mereka berjanji akan menanggung pengobatan Naira sampai sembuh.

"Tadi pagi sudah datang Kepala Dinas Kesehatan dan Sosial. Mereka bilang akan membantu, sekarang kami lagi siap-siap ke rumah sakit Idie, dan nantinya akan dirujuk ke rumah sakit Medan. Saya sudah bilang sekarang saya tidak punya uang sepersen pun," imbuh Zulkifli.

[ary]

Rabu, 26 Agustus 2015

Nek Syarifah Hidup Sebatang Kara di Gubuk



Rabu, 26 Agustus 2015 14:27


NENEK Syarifah warga Geumpa Raya, Kecamatan Woyla, Aceh Barat, tinggal sebatang kara berdiri di depan gubuk miliknya. Foto direkam pekan lalu. SERAMBI/RIZWAN

NENEK yang sudah usia senja itu kini tinggal sebatang kara digubuk tua yang didirinya di tanah milik warga di desa tersebut. Wanita tersebut merupakan janda miskin yang selama ini luput dari perhatian pemerintah, seperti tidak tercantum sebagai penerima dana kartu penerima keluarga sejahtera, juga tak tercatat sebagai sasaran program keluarga harapan atau bantuan rumah duafa.

“Selama ini setiap hari saya bekerja mengupas kacang milik petani yang ada di sekitar desa. Dengan itulah sehari-hari hidup saya,” ujarnya.

Wanita tua ini mengaku berterima kasih terhadap warga yang masih merelakan tanahnya didirikan gubuk berukuran 4x4 meter, untuk ia tinggal semenntara. Namun ia mengaku tidak tahu bagaimana harus menggantungkan hidupnya, karena selain usia yang sudah senja, ia juga tidak memiliki anak.

Nek Syarifah mengungkapkan, kondisi ini dialaminya sejak 20 tahun lalu, sejak suaminya meninggal dunia. “Kalau ada yang membantu saya, Alhamdullilah. Karena mata saya juga sudah rabun dan kalau malam hari saya sendiri di gubuk ini,” ungkap Nek Syariah.

Keuchik Gempa Raya, M Naim yang ditanyai kemarin, mengaku pernah mengusulkan supaya Nek Syarfah mendapat bantuan rumah duafa, tetapi tidak disetujui oleh pemerintah setempat waktu itu, karena nenek tersebut tidak memiliki ahli waris serta lahan untuk didirikan rumah.

Saat ini ia sudah memiliki tanah bantuan dari saudaranya, dan ke depan akan diusulkan lagi bantuan rumah duafa untuk dirinya.
Selama ini, gubuk tempat tinggal Nek Syarifah, kalau rusak diperbaiki oleh masyarakat sebagai bentuk kebersamaan dan kepedulian warga.(riz)